Jumat, 03 Januari 2014

Ibu Tiri-pun Manusia !!!




Kenapa sih ibu tiri itu selalu di identikan dengan galaknya egoisnya sadisnya atau apapun itulah..

Memang mungkin ada yang seperti itu. Tapi tidak semua !
Catat ! TIDAK SEMUA !!!

Hey kalian yang selalu menjudge yang nggak nggak ke seorang IBU TIRI.
Mereka pun manusia. Sama-sama makan nasi. Sama-sama punya perasaan. Sama-sama punya harga diri. Dan sama-sama patut DISAYANG dan DICINTA ..!!

Kenapa aku ngomong seperti ini?
Aku pun mempunyai seorang Ibu Tiri. Tapi bukan itu alasannya. Sungguh bukan itu !

Alasanku karna ALLAH !!! Camkan itu !
Karna semua takdir ada dan berada di tangan Allah.
Kita mungkin saja suatu saat diberikan seorang ibu yang tiri.
Atau bisa saja mungkin kita yang ditakdirkan untuk menjadi istri kedua dan menjadi Ibu Tiri !
Dan lebih baik kalian tidak menjudge sebelum takdir yang akan lebih dulu meghakimi kalian !

Rabu, 25 Desember 2013

Love For The Delay (cerpen)





     "Kamu simpan dimana obatnya Cak?"

Gadis disebelahku ini,
Ah, Ify. Dia sangat perhatian dengan sahabat lelaki kami.
Lihat saja. Dia menyibukkan diri
memeriksa ransel milik Cakka.
Mencari sesuatu yang ia sebut obat.

Ify sepertinya sudah jengah,
"Shil, bantuin dong"

Merasa terpanggil, Aku pun
mengambil alih ransel yang ada
ditangan Ify. Baru satu sleting
aku buka, aku sudah dapat benda
itu. Ify menyengir saat aku
acungkan benda itu di depan
mukanya.

"nyari tuh pakek mata, bukan pakek mulut"

Aku terkekeh. Baru satu kali aku
mendengar Cakka bersuara pagi ini.
Ify tak menghiraukan. Ia masih
sibuk dengan 1 butir kapsul di
tangannya.

"cepat habiskan buburnya. Dan
minum obat ini. Sebentar lagi bell
masuk" Ify menyodorkan segelas
air dan kapsul tadi ke hadapan
Cakka.

Dia cerewet. Tapi aku bangga
mempunyai sahabat seperti Ify
yang tingkat keperhatiannya begitu
tinggi.

"Aku ketoilet dulu. Kalian duluan
saja ke kelas" Cakka menggantungkan ranselnya ke pundak setelah meneguk kapsul dicampur air mineral.

Aku dan Ify mengangguk. Lantas Ia meninggalkan Aku dan Ify untuk melangkah menuju toilet.

"Lain kali lebih peka dong Shil!"
Aku mengernyit. Bola mataku beradu dengan mata beriris hitam bulat milik Ify yang nampak meredup.

"Maksudnya?"

"Aku tadi sengaja menyuruhmu
membuka sleting yang terakhir. Aku tahu obatnya ada di kantung itu. Cakka lebih suka kamu yang
memperhatikannya daripada Aku."

Aku bergeming sejenak. Menghela
nafas. Lantas aku kembali menatap
mata Ify dengan senyum
meremehkan.
Gadis ini terlalu sensitif tentang
masalah Cinta.

"Jangan terlalu menyakiti hatimu
Ify. Kamu terlalu salah menilai.
Perhatian kepada orang itu tidak
harus dengan orang yang dicintainya kan?"

Langkahku dan juga langkah Ify
melambat saat menyusuri lorong
yang kiri kananya terlihat sepi.
Tentulah, bell masuk sudah
berbunyi. Dan Aku juga Ify masih betah bercengkrama.

Aku melihat Ify menunduk.
dan saat itu juga hatiku mencelos dalam penyesalan.
Hanya karna kertas itu.
Kertas itu?

"Seandainya Shilla adalah Ify.
Mungkin dia akan lebih bahagia
melihat orang yang dicintainya
bahagia"

Aku terenyuh. Hatiku menciut saat
mendengar suara lembut milik
Ify menyapa gendang telingaku.

"Dan Seandainya Ify adalah Shilla. Dia akan merasa penyesalan
mendalam karna menyakiti hati
sahabatnya dan dipaksa mencintai
orang yang tidak dicintainya"

Ucapanku tadi semakin membuat
Ify tertunduk lebih dalam. Ia
menggigit bibir mungil bagian
bawahnya. Ah iya, itu kebiasaan
Ify saat dia galau.

-o0o-

     Ternyata percakapan yang terjadi di lorong sekolah tadi pagi berdampak sampai saat ini.
Aku dan Ify tampak canggung.

Mataku berat sekali. Aku menguap
beberapa kali. Celotehan Guru pun
tak sampai ke telingaku. Kedua
tanganku Aku jadikan tumpuan pipi chubbyku.
Sedangkan mataku yang bagian
kanan menangkap Ify yang duduk di sebelakhku nampak gelisah. Ia berkali-kali menengok kebelakang.
Tepatnya ke bangku yang dihuni
oleh lelaki yang menurut Ify
tampan dan manis itu. Cakka.

"Gurunya didepan Fy, kenapa
kamu melihat ke belakang terus?"

Aku bukan bermaksud memberitahu.
Lebihnya adalah menggoda.
Tatapannya kini tak lagi ke belakang.
Mata bulat itu menatap lurus mata
sayuku yang masih menyimpan rasa kantuk yang mendalam.

"Cakka.., dia sepertinya sedang tidak sehat"

Nada berbisiknya dan sarat akan
cemas itu membuat mataku terbuka yang memang sebelumnya sudah tertutup berkat kantuk yang tak terelakan lagi.
Mau tak mau aku harus melihat arah tatapan Ify. Benar saja. Wajah pucat dan bibir Cakka yang memutih.
Peluh keringat sebesar biji jagung
itu bercucuran di dahinya. Ia nampak payah sekali saat ini.

"Cakka harus istirahat Shil. Dia
sedang sakit"

Aku menggeleng. "Tidak. Dia
memang orang sakit"

Ucapanku tadi ternyata semakin
membuat Ify Gusar. Gadis itu
mengerutkan dahinya dan menelan ludahnya kasar. Ah, aku juga ingat.
Ini kebiasaan Ify saat perasaannya khawatir.

"kamu. Ada apa Cakka?"

Aku dan Ify agak terlonjak. Bukan karna suara berat milik guru lelaki yang tatapannya mengarah jauh ke arah belakang. Tapi karna ada nama yang tersebut disana. Aku melihat
lagi kebelakang ternyata Cakka masih setia dengan tangannya yang
terangkat.

"saya izin ketoilet pak"

Guru didepan yang masih berdiri
tegap itu terlihat mengangguk.
Aku mengerutkan dahi. Cara berdiri dan berjalan Cakka sangatlah payah.

"Cakka, Bapak sarankan sehabis dari toilet kamu ke UKS. Kamu terlihat sedang tidak sehat"

Strike !
Yang tidak tahu rahasia ini pun
tahu laki-laki itu memang sakit.
Cakka yang sudah berdiri dan
bertopangan diambang pintu itu
berbalik dan mengangguk. Sejurus
kemudian ia kembali melangkah
keluar kelas. Namun langkahnya
nampak gusar seperti tak mau
berpijak.

"CAKKA !!!!"

Pekikan keras yang kupastikan milik Ify itu hampir menulikan telingaku bersama dengan tubuh Cakka yang terbanting di ambang
pintu.

Sedangkan aku? Aku hanya diam
mematung.
Kekhawatiran yang meliputi hati dan otakku membuat mulut ini terkunci rapat.
Ya Tuhan, lelaki ini selalu sukses
membuat sahabat perempuannya ini khawatir !

-o0o-

     Ruang UKS ini nampak hening.
Ify yang terduduk di bangku kayu yang terdapat di samping kasur UKS itu hanya menunduk tak mau memulai sepatah dua patah pun.

Cakka masih bergeming di kasur UKS dengan mata tertutup sejak aksi pingsannya tadi di pintu kelas.
Sedangkan Aku? Hanya berdiri
mematung di samping Ify.
Aku dan Ify masih canggung sekarang.

Hingga akhirnya Ify bersuara.
"Aku keluar dulu ya Shil" Ia bangkit dari duduknya, Lantas meninggalkan ruang beraroma khas obat-obatan ini.

Aku hanya menatap punggung Ify nanar yang hilang di balik pintu yang sudah ditutup oleh Ify.

Pandanganku kembali menatap laki-laki di hadapanku yang masih betah tertidur itu.

"berhentilah Kau membuat Aku dan Ify khawatir"

Beberapa menit kemudian Aku melangkah ke arah pintu. Meninggalkan ruangan itu.

*

"kenapa disini? Siapa yang menjaga Cakka?"

Suara lembut Ify itu begitu menunjukan betapa khawatirnya Ia kepada Cakka.
Oh Cakka, cepatlah sembuh. Biarkan Gadis cantik itu beristirahat dari kekhawatirannya.

"Cakka belum bangun kok. Ngga apa-apalah dia di tinggal" Aku mendudukkan diriku di samping Ify.

"Cobalah untuk mencintai Cakka, Shil"

Aku terkesiap mendengar ujaran lirih Ify barusan.

Ify, mengertilah!
Aku tidak mencintai Cakka dan tidak bisa mencintainya
Dan Aku tahu kau mencintainya kan?

"Maaf Ify Aku tidak bisa"

Ku lihat Ify hanya mendesah. Aku tertunduk. Gadis disebelahku ini terlalu baik.
Melihat orang yang dicintainya bahagia maka dia akan bahagia walau itu menyakitkan untuknya.

Ify sungguh manis !
Lantas apa yang membuat Cakka.
Orang yang katanya menyimpan rasa padaku itu tak bisa berpaling untuk melirik Ify? Kenapa harus Aku yang ada di posisi ini ?

"tapi kertas kuning itu?"

"Berhentilah mengungkit kertas
kuning itu, Ify !" Suara ku naik satu tingkat. Bukan maksudku
membentak Gadis lembut itu. Aku
hanya menegaskan.

Kertas kuning?
Ah iya, kertas kuning itu selalu menjadi sasaran perdebatan Aku dan Ify.
Benda itu, Aku dan Ify temukan
di balik buku fisika milik Cakka dua
hari lalu.

'My Love, Shilla'
Begitulah tulisan yang tertera di layar kertas kuning itu.
Membuat Aku kaget memang. Tapi
ada mimik yang lebih syok disana.Ify.
Bagaimana tidak?
Perasaannya pupus melihat nama sahabatnya tercantum di hati orang yang dicintainya.

"Berhentilah Ify. Aku tak berharap lebih tentang kertas itu"

"Shilla, Aku akan baik-baik saja jika
kamu mencintai Cakka"

"Aku yang tidak baik-baik saja disini ! Kau memikirkan tentang hatimu. Tentang Cakka. Tapi kamu tidak memikirkan apapun tentangku !"

Ify menunduk kalut. Iris matanya semakin meredup. Mimiknya terlihat kaget saat sentakan itu keluar dari mulutku.

Maafkan Aku Ify.
Bukan maksudku membentak.
Aku.. Aku hanya tak mengerti denganmu Ify !
Kau begitu rumit !

"Kalian berdua..,"

Aku dan Ify tersentak. Refleks mataku dan Ify mencari asal suara itu.

Cakka?
Di ambang pintu itu Aku melihat Cakka.
Yang tubuhnya bertopang pada pinggiran ambang pintu ruang UKS.
Muka pucatnya, bibir gemetarnya, tangan kanannya yang menggantung di bagian perutnya dan agak diremas, nafasnya yang
menyakitkan.
Ya Tuhan, Lelaki ini sungguh
menyedihkan !

"Kalian berdua, kertas itu..,"

Lagi-lagi Ia menggantungkan kalimatnya. Tangannya semakin meremas dan menekan perut kirinya. Sumber sakit itu. Ringisan kecil keluar dari mulutnya.
Aku mematung menunggu apa yang mau diucapkan sumber pembicaraan aku dan Ify selama ini.
Dan Aku yakin Ify pasti juga
membatu. Kulihat sejenak wajahnya merah padam. Apa dia malu rahasia hatinya itu didengar oleh Cakka ?

Cakka berjalan sumbang tertatih
menuju tempat berdirinya Aku dan Ify. Dekat sebenarnya. Namun sepertinya kaki pemuda itu lemas tak main. Sesampainya di hadapanku dan Ify yang masih
saja membatu ini. Ia berpegangan kuat-kuat ke pundak bangku besi yang tadi Aku dan Ify duduki,
guna menopang tubuhnya agar tak terjatuh.

"Kertas itu..,"

Aku meneguk ludah dengan samar.
Harus mempunyai kesabaran extra
untuk menunggu kalimat pasti yang keluar dari bibir pucat milik Cakka.

"Kertas itu.., kalian salah paham!"

"maksudmu apa Cakka?" kesabaranku telah habis. Pertanyaan itu meluncur bebas saja dari bibirku yang selalu beroleskan lip gloss watermelon ini. Diluar kesadaranku.

"Kertas itu bukan punyaku. Itu.., itu milik Gabriel"

Mataku membulat. Aku kaget tak
main. Dan aku yakin Ify pun kaget dibuatnya.
Sekelabatan wajah lelaki yang Cakka sebut barusan itu tiba-tiba saja memenuhi otak ku.

Lelaki yang tampang wajahnya tak beda jauh dari Cakka. Dia Kakak kandung Cakka.
Satu tahun lebih tua dari Kami bertiga.
Wajahnya yang tenang. Suara bariton yang selalu nampak tegas,
iris mata yang sama namun lebih tajam dari Cakka itu memenuhi penglihatan bawah sadarku.
Gabriel. lelaki yang mengisi hatiku sejak dua tahun belakangan saat Ia pulang dari Bandung.

Dan dia adalah yang mencantumkan namaku dengan kata 'My Love' ?

Ify diam. Tubuhnya seperti boneka. Tak bertulang. Namun kulihat satu titik cahaya yang menerangi kembali manik hitamnya yang sebelumnya redup dan gelap.

"Aku tak sengaja menemukan kertas kuning itu di buku harian Gabriel saat dia pulang dari Bandung."

Tubuh Cakka limbung, tangan kananya semakin brutal menekan-nekan sumber penyakitnya itu.
Rintihan dari mulutnya semakin jelas kudengar. Aku ingin sekali memapah tubuh pemuda itu. Tapi melihat adanya Ify. Niatku urung.

"Ya Tuhan..,"

Aku tidak tahu ia memuji Tuhan karna apa. Entah karna masalah ini sudah menemui titik terang. Atau karna sakitnya yang semakin beraksi anarkis untuk menyiksa organ lambungnya itu?
Entahlah. Aku ingin menangis sekarang juga.

"Selesai..,"

Gumamku gusar. Bersamaan dengan tubuh Cakka yang terjatuh dan kepalanya membentur besi bangku dan suara pekikan keras yang keluar dari mulut Ify untuk kedua kalinya pagi ini.

-o0o-

"hei, bangunlah adik nakal ! Kau membuat 2 gadis manis itu cemas ! Bangunlah!"

Aku iba mendengar bisikan Gabriel di telinga adiknya yang masih terpejam itu.

Aku dan Ify terduduk mematung di sofa yang sudah tersediakan di ruang rawat ini.
Gabriel berjalan ke arahku dan Ify.
Aku terkesima sekejap dibuatnya. Cara jalannya yang tegap itu selalu
membuatku berdecak kagum.

"Luka di dahinya itu?"

"tadi kepalanya membentur bangku besi di sekolah saat dia pingsan"
Aku mengatupkan mulutku lagi.
Ify lebih dulu cepat menjawab pertanyaan Kakak dari orang yang dicintainya itu.

Gabriel memangut tanda mengerti.

"Gabriel, Aku mau berbicara denganmu sebentar,"

Aku menggandeng tangannya yang jelas saja lebih besar dariku. dan Aku menyadari menggandeng tangannya sama saja membuat dadaku berdetak lebih kencang. Aku menuntunnya keluar ruang rawat Cakka. Ify diam saja. Matanya merantau ke wajah tenang Cakka di kasur putih itu.

*

"Jadi kertas itu bukan milikmu?"

"bukan, Shilla!"

     Nafasku tercekat. Aku sungguh malu sekarang !
Setelah beberapa menit tadi aku bercengkrama panjang lebar
bersama Gabriel. Akhirnya masalah kertas itu benar-benar sudah menemui titik jera.

"Jadi Cakka, orang sakit itu membohongiku dan juga Ify?"

aku sadar suaraku bergetar. Air mata ini tertahan di pelupuk mataku.

"Aku mencintaimu Gabriel,"

"maafkan Aku, tapi..,"

"tidak apa-apa, aku mengerti. Aku baik-baik saja"

Setelah berkata bahwa aku baik baik saja. Baiklah, Aku benar-benar ingin menangis sekarang.

"kau mencintai Ify. Dan Cakka mencintaiku? Permainan macam apa ini?" Aku mengusap wajahku yang sudah dipenuhi dengan air mata dan tampang kecewa. Dan.aku yakin Gabriel pun begitu.

Tiba-tiba saja Ify menyembul dari balik pintu kamar rawat Cakka. Orang sakit dan pembohong itu.

Ify nampak bingung dengan Aku dan Gabriel.

"Aku mau ke ruang dokter. Cakka baru saja sadar"

"Aku ikut, aku juga ingin bertemu dokter"

Gabriel dan Ify berlalu meninggalkanku. Dan hatiku kini berkobar untuk mengintrogasi Si pembohong itu. Dan Aku harap lelaki itu menjawab semua pertanyaanku !

Aku membuka pintu kamar rawatnya.
Berjalan melangkah tergesa-gesa menuju ranjangnya.

"Hai..,"

Lelaki itu melambaikan telapak tangannya yang bebas jarum infus itu dengan lemas.

"Cakka..," langkahku terhenti begitu saja. Emosiku tiba-tiba saja hilang lenyap saat melihat masker oksigennya mengembun. Mata sayu pucatnya mengganti emosiku dengan rasa iba.

"Apa yang terasa sakit?"

"tidak ada, Shilla. Tidak disini, ataupun disini" Cakka menunjuk perut dan kepalanya. Lantas ia terkekeh pelan. Tak sadar aku sedikit tersenyum atas tingkah orang sakit ini.

Tentang masalah itu?
Mungkin aku akan dibilang pembunuh bila menyerbunya dengan tanya-pertanyaan yang memburu otak ku tadi.

"tidak mungkin itu tidak sakit. Dahimu saja sampai diperban seperti itu."

"Aku senang kau memperhatikanku"

"tentu saja. Kamu kan sahabatku" Aku mengambil posisi duduk di bangku dekat ranjangnya.

"tentang kertas itu. Maaf Aku berbohong. Itu kertasku Shil!"

Aku kaget. Bagaimana Cakka tahu Aku ingin mempertanyakan tentang itu?

"iya Cakka, Aku sudah tahu dari Kakakmu"

Cakka nampak menghela nafas dengan susah. Padahal masker oksigen masih setia menutupi hidung dan mulutnya.

"ada yang sakit?"

Cakka menggeleng. Tapi tangannya Ia taruh di atas perutnya. Aku yakin.
Dibagian itu pasti sakit lagi !

Cakka, kau tidak bisa berbohong padaku.

"Aku menyayangimu Shilla."

Aku melotot menatap tajam mata Cakka yang menatapku lebih sayu.

"Tidak mungkin Cakka"

"kertas itu. Kertas itu benar-benar milikku. Dan Aku benar-benar mencintaimu"

Aku diam. Kata-kata yang bernada parau itu berhasil memaku diriku. Tapi lutut ini rasanya lemas sekali.

"Biarkan cinta Ify untukku mati oleh cinta kita, Aku mohon"

Suaranya semakin lirih. Matanya ia pejamkan kuat-kuat. Rahangnya mengeras. Dan aku tak menyadari itu.

Aku terbuai oleh dering telepon genggamku.

"Aku ingin mengangkat telepon sebentar"

Tanpa mendengar jawabannya aku melangkah ke ambang pintu. Dan Aku terima telepon itu yang ternyata Ify.

'hallo'

'Shilla, tolong Aku !'

Aku mengerut. terdengar nada cemas Ify.

'Aku sedang di toilet, Gabriel tadi mengajakku ke restoran dan dia.. Dia menyatakan cintanya kepadaku ! Dia sedang menungguku diluar untuk memberi jawaban. Bagaimana ini? Tolong Aku !'

Aku tercekat. Ah iya, aku sudah tahu bahwa ini akan terjadi. Cepat atau lambat.

'katakan iya Fy ! Katakan "Iya". Cepat Ify !'

Aku bisa membayangkan wajah
oriental Ify yang sedang kaget saat kata-kata itu terlontar dari mulutku.

'Shilla, tapi..,'

'katakan "Iya". Ify !'

'tapi kenapa? Apa maksudmu?'

Suara itu melemas. Tapi aku masih
bisa mendengarnya.
Ya Tuhan, Aku ingin berteriak seperti orang gila sekarang juga !

'mengapa aku harus katakan 'iya' pada Gabriel?'

'Karna Aku akan melakukan yang sama juga kepada Cakka !'

Tak ada jawaban. Aku yakin gadis manis itu pasti sedang syok sekarang.

Sambungan terputus. Dan Ify yang memutuskan sambungannya. Aku kembali ke dalam kamar Cakka.

Aku terbelalak cemas saat melihat tubuh lelaki yang nasibnya berteman dengan kanker lambung itu sedang bergeliat di kasurnya. kepalaku pusing melihat banyak darah di sekitar mulutnya. aku pastikan Cakka baru saja muntah darah. Ia mengerang dan merintih.

"Cakka !"

"Hhh.. Shilla, Sakit"

"Aku akan panggilkan dokter"

"tidak usah, Aku hanya membutuhkanmu disini."

Baiklah, Aku menangis sekarang. Hatiku menciut saat melihat tubuhnya bergetar menahan sakit.
Telingaku perih mendengar batuk dan deru nafas menyakitkan yang keluar dari mulut Cakka.

"Aku mencintaimu Shilla. Aku sayang kamu"

Aku sama sekali tak bisa menjawab ujaran paraunya. Bibirku bergetar menahan air mata yang cepat atau lambat pasti akan meluncur juga.

"Aku tak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Aku tak tahu apa- apa. Aku hanya tahu bahwa aku mencintaimu"

Aku menangis. Benar-benar menangis. Bersamaan dengan layar monitor yang baru saja tak lagi bergaris zigzag. Melainkan garis lurus.
Telepon genggamku kembali berdering.

'Shilla, aku sudah menerima cinta Gabriel. Itukan yang kau mau? Aku harap aku bahagia. Kau juga harus bahagia ya berasama Cakka. Aku...'

Aku menekan tombol home kuat-kuat. Sehingga tidak hanya sambungannya saja yang terputus. Ku genggam erat-erat tangan dingin Cakka. Aku mengecup pipinya yang tak beda jauh dinginnya dengan tangannya.

Aku berbisik pelan di telinga Cakka
yang sudah ditinggalkan oleh Ruhnya.
Lantas..,

"Aku juga mencintaimu Cakka. Maaf telat mengucapkannya"


                       End

Selasa, 24 Desember 2013

Jangan Pergi (cerpen)

     Tak ada suara yang ingin memecahkan keheningan yang membelenggu saat ini,
Memulai pembicaraan pun tak ada yang mampu melakukannya. tak ada prolog yang pas untuk memulai pembicaraan pada suasana ini.

"Kamu benar-benar mau pergi Shil?"

Suara serak dan parau itu nyaris memecahkan keheningan yang sedari tadi sempurna terbangun.
Yang diajak bicara hanya menarik nafasnya yang tercekat dan mencium lembut kening lelaki yang ada di depannya.

"Maafkan Aku Cakka"

Bukan ini yang Ia mau ,Sungguh bukan ini.
Jika bukan komando dari Ayahnya mungkin Shilla akan tetap diJakarta dan tidak akan berangkat ke Bandung untuk menunuruti permintaan Ayahnya untuk bersekolah disana dan tinggal bersama Neneknya dan membantu mengurus salon milik tantenya yang ada di Bandung.  setelah satu bulan lalu pasca Ibunya pergi meninggalkan Dia dan Ayahnya karna kecelakaan tabrak lari tanpa adab saat itu.
Sudah berkali-kali Ia membujuk Ayahnya untuk tetap disini dan tidak berangkat ke Badung. Terlebih saat tahu kondisi Cakka yang notabene adalah kekasihnya itu semakin buruk saja kondisinya.

Keheningan kembali menyergap. Dua anak manusia ini sangatlah boros terhadap waktu dengan menyia-nyiakan waktu yang mungkin hanya sebentar dari sekarang untuk mereka bersama.

"jangan sedih, Aku janji akan sering-sering ke Jakarta untuk memastikan kamu baik-baik saja..,"

"Kamu pergi bukanlah sesuatu yang enak untuk Aku"

Shilla menghembuskan nafasnya panjang. Ia merasa menjadi perempuan paling egois yang terlanjur memberi setengah hatinya kepada seseorang semacam Cakka.
dan lebih egois lagi kenapa bisa Ia harus dipisahkan dengan Cakka dengan cara tidak lazim?
Posisinya kali ini sungguh tak terelakan..

Shilla memeluk Cakka. Tak ingin Ia meninggalkan Cakka barang seinci pun.

Cakka diam saja. Dadanya sakit.
Tak terbayangkan olehnya bila tak ada lagi Shilla saat kesehatannya menurun. Tak ada lagi Shilla esok yang akan membuatnya tertawa dengan tingkah cewek polos dan dewasa itu. Dan Ia tak bisa membayangkan seperti apa dirinya saat penyemangat hidupnya itu pergi dari Jakarta.

-o0o-

Kereta itu lambat laun berjalan. Dan gadis pilu ini masih saja memelas pada sang Ayah untuk mereka tidak berangkat ke Bandung sekarang juga. Terlebih saat Ia dengar Cakka dikabarkan kritis.
Shilla luluh lantah tak berkutik saat gelengan tegas Ayahnya menjawab permohonannya itu hampir membuatnya terambang di ujung tak ber-asa.
Air matanya yang jatuh bersahutan dengan nada roda kereta api dengan rel-nya.

Tak berbeda jauh dengan lelaki fatalis yang memang sedang tak berdaya ini.
Bedanya, cairan infuslah yang menjadi teman air matanya saat bersanding dengan telpon genggamnya bahwa gadisnya itu telah berangkat beberapa menit lalu.

"Ya Tuhan, Cakka capek..,"

Matanya tertutup bukan atas maunya. Dan disana ia melihat Shilla yang tengah melambaikan tangan ke arahnya dengan pilu. Dadanya sesak dan sakitnya tiada tanding. Untuk mengejarpun rasanya kaki itu tak bertulang lagi. Tangannya Ia biarkan guna mencengkram dadanya sendiri. Dan Ia yakin ada yang lebih kuat lagi yang meremas jantungnya dari dalam. Tubuhnya lemas seketika. Layaknya sinetron yang meraja lela saat ini. Ia merasakan melodi melow beralun lembut semakin membuat latar perpisahan mereka semakin sempurna sedih yang menggelut.

*

"Sayang, telponnya geter..,"

Shilla terbangun dari lamunan panjangnya. Kereta masih tetap berjalan pada jalurnya. Dan saat itu pula Ia merasa saku celana skinynya bergetar. Ia raih benda hitam polos itu dan menempelkan ke bagian telinganya.

'Hallo'

Shilla biarkan orang yang ada di sebrang telponnya itu berceloteh panjang lebar.
Seperdetikannya mata Shilla memerah, buram tertutup semacam air yang dalam satu kedipan saja terjamin langsung membanjiri pipi chubbnya. Bibirnya bergetar. Ia merasa sebagian kesadarannya direnggut paksa. Lututnya lemas bukan main.

Tangannya tak jauh berbeda, telpon yang ada di genggamannya hampir jatuh seiring tubuh mungilnya itu terduduk lemas tak ada gairah.
Seperti ada palu besar yang menghantam keras batinnya. Ia seperti merasakan seribu tusukan pedang samurai yang tepat membuatnya luluh lantah tak berkiprah lagi.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke badan besar tegap sang ayah.

Ingin rasanya ia membalik waktu untuk berputar tak lagi ke kanan. Ingin rasanya Ia kembali dan tak pernah ada lagi masa sekarang. Ingin rasanya ia mendekap lagi tubuh hangat yang selalu dapat membiusnya dengan bau colonge favoritnya yang tak pernah absen melingkupi tubuh itu. Ingin rasanya Ia mendengar lagi ucapan-ucapan manis itu yang selalu sarat akan ketulusan dan kasih sayang. Ingin rasanya, ingin rasanya, ingin rasanya, dan ingin sekali rasanya Ia merasakan lagi kehadiran kekasihnya itu tanpa batas waktu dan jarak..
Kini terlambat..

Menangis..

"Seharusnya Aku yang memintamu jangan pergi!"

                       End

Senin, 23 Desember 2013

My Couple Favorite (Cakka-Shilla)

Idolaku yang paling aku suka untuk jadi couple :)

Cakka kawekas Nuraga & Ashilla Zahrantiara (CakShill).

Gimana? Ganteng dan Cantik yaa .. haha :D :D