Selasa, 24 Desember 2013

Jangan Pergi (cerpen)

     Tak ada suara yang ingin memecahkan keheningan yang membelenggu saat ini,
Memulai pembicaraan pun tak ada yang mampu melakukannya. tak ada prolog yang pas untuk memulai pembicaraan pada suasana ini.

"Kamu benar-benar mau pergi Shil?"

Suara serak dan parau itu nyaris memecahkan keheningan yang sedari tadi sempurna terbangun.
Yang diajak bicara hanya menarik nafasnya yang tercekat dan mencium lembut kening lelaki yang ada di depannya.

"Maafkan Aku Cakka"

Bukan ini yang Ia mau ,Sungguh bukan ini.
Jika bukan komando dari Ayahnya mungkin Shilla akan tetap diJakarta dan tidak akan berangkat ke Bandung untuk menunuruti permintaan Ayahnya untuk bersekolah disana dan tinggal bersama Neneknya dan membantu mengurus salon milik tantenya yang ada di Bandung.  setelah satu bulan lalu pasca Ibunya pergi meninggalkan Dia dan Ayahnya karna kecelakaan tabrak lari tanpa adab saat itu.
Sudah berkali-kali Ia membujuk Ayahnya untuk tetap disini dan tidak berangkat ke Badung. Terlebih saat tahu kondisi Cakka yang notabene adalah kekasihnya itu semakin buruk saja kondisinya.

Keheningan kembali menyergap. Dua anak manusia ini sangatlah boros terhadap waktu dengan menyia-nyiakan waktu yang mungkin hanya sebentar dari sekarang untuk mereka bersama.

"jangan sedih, Aku janji akan sering-sering ke Jakarta untuk memastikan kamu baik-baik saja..,"

"Kamu pergi bukanlah sesuatu yang enak untuk Aku"

Shilla menghembuskan nafasnya panjang. Ia merasa menjadi perempuan paling egois yang terlanjur memberi setengah hatinya kepada seseorang semacam Cakka.
dan lebih egois lagi kenapa bisa Ia harus dipisahkan dengan Cakka dengan cara tidak lazim?
Posisinya kali ini sungguh tak terelakan..

Shilla memeluk Cakka. Tak ingin Ia meninggalkan Cakka barang seinci pun.

Cakka diam saja. Dadanya sakit.
Tak terbayangkan olehnya bila tak ada lagi Shilla saat kesehatannya menurun. Tak ada lagi Shilla esok yang akan membuatnya tertawa dengan tingkah cewek polos dan dewasa itu. Dan Ia tak bisa membayangkan seperti apa dirinya saat penyemangat hidupnya itu pergi dari Jakarta.

-o0o-

Kereta itu lambat laun berjalan. Dan gadis pilu ini masih saja memelas pada sang Ayah untuk mereka tidak berangkat ke Bandung sekarang juga. Terlebih saat Ia dengar Cakka dikabarkan kritis.
Shilla luluh lantah tak berkutik saat gelengan tegas Ayahnya menjawab permohonannya itu hampir membuatnya terambang di ujung tak ber-asa.
Air matanya yang jatuh bersahutan dengan nada roda kereta api dengan rel-nya.

Tak berbeda jauh dengan lelaki fatalis yang memang sedang tak berdaya ini.
Bedanya, cairan infuslah yang menjadi teman air matanya saat bersanding dengan telpon genggamnya bahwa gadisnya itu telah berangkat beberapa menit lalu.

"Ya Tuhan, Cakka capek..,"

Matanya tertutup bukan atas maunya. Dan disana ia melihat Shilla yang tengah melambaikan tangan ke arahnya dengan pilu. Dadanya sesak dan sakitnya tiada tanding. Untuk mengejarpun rasanya kaki itu tak bertulang lagi. Tangannya Ia biarkan guna mencengkram dadanya sendiri. Dan Ia yakin ada yang lebih kuat lagi yang meremas jantungnya dari dalam. Tubuhnya lemas seketika. Layaknya sinetron yang meraja lela saat ini. Ia merasakan melodi melow beralun lembut semakin membuat latar perpisahan mereka semakin sempurna sedih yang menggelut.

*

"Sayang, telponnya geter..,"

Shilla terbangun dari lamunan panjangnya. Kereta masih tetap berjalan pada jalurnya. Dan saat itu pula Ia merasa saku celana skinynya bergetar. Ia raih benda hitam polos itu dan menempelkan ke bagian telinganya.

'Hallo'

Shilla biarkan orang yang ada di sebrang telponnya itu berceloteh panjang lebar.
Seperdetikannya mata Shilla memerah, buram tertutup semacam air yang dalam satu kedipan saja terjamin langsung membanjiri pipi chubbnya. Bibirnya bergetar. Ia merasa sebagian kesadarannya direnggut paksa. Lututnya lemas bukan main.

Tangannya tak jauh berbeda, telpon yang ada di genggamannya hampir jatuh seiring tubuh mungilnya itu terduduk lemas tak ada gairah.
Seperti ada palu besar yang menghantam keras batinnya. Ia seperti merasakan seribu tusukan pedang samurai yang tepat membuatnya luluh lantah tak berkiprah lagi.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke badan besar tegap sang ayah.

Ingin rasanya ia membalik waktu untuk berputar tak lagi ke kanan. Ingin rasanya Ia kembali dan tak pernah ada lagi masa sekarang. Ingin rasanya ia mendekap lagi tubuh hangat yang selalu dapat membiusnya dengan bau colonge favoritnya yang tak pernah absen melingkupi tubuh itu. Ingin rasanya Ia mendengar lagi ucapan-ucapan manis itu yang selalu sarat akan ketulusan dan kasih sayang. Ingin rasanya, ingin rasanya, ingin rasanya, dan ingin sekali rasanya Ia merasakan lagi kehadiran kekasihnya itu tanpa batas waktu dan jarak..
Kini terlambat..

Menangis..

"Seharusnya Aku yang memintamu jangan pergi!"

                       End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar